Pantaskah kau sebut aku “Candi”?

Menurut KBBI, candi adalah “bangunan kuno yang dibuat dari batu (sebagai tempat pemujaan, tempat penyimpanan abu-abu jenazah raja-raja, pendeta-pendeta Hindu atau Buddha pada zaman dulu). Karakter candi dibagi berdasarkan warna arsitektur dan tujuan pembuatannya. Candi peninggalan Hindu biasanya dibangun sebagai tempat pemujaan sekaligus penyimpanan abu-abu jenazah raja, sedangkan candi Buddha biasanya hanya digunakan untuk tempat pemujaan saja.

Then? What?

Candi Prambanan, Candi Pawon, dll, mungkin tepat apabila disebut dengan candi. Akan tetapi, kalau dipasangkan dengan Borobudur, entah kenapa, seakan-akan mengecilkan kemegahan Borobudur. Bagi saya menamakan Borobudur sebagai “candi” seakan kurang mempromosikan makna pembangunan Borobudur bagi masyarakat Jawa pada zaman itu. Bagi saya, Borobudur itu lebih dari sekadar candi. Seolah-olah kita kurang paham kebesaran Borobudur.

Saya pribadi baru menyadari kemegahan Borobudur setelah saya jauh merantau. Padahal Borobudur hanya terletak sekitar 40 menit dari kota asal saya (waktu yang saya tempuh untuk sekolah atau part time di tanah rantau setiap harinya bahkan lebih). Baru setelah saya menggali informasi tentang Borobudur demi secumlik halaman di salah satu bab dalam disertasi saya, kemudian merasa tergugah dengan pendapat seorang peneliti Borobudur John Miksic dalam bukunya Borobudur: Golden Tales of the Buddhas, saya kemudian berpikir,

Borobudur itu bukan sekadar candi!!

“To them the name only meant a hill with a large collection of sculpture. They did not even dignify the site by calling it a candi, a word which the Javanese use for ruins of the pre-Islamic era. Perhaps they regarded it merely as a natural mound where their ancestors had erected statues, depicting whom they did not know. Borobudur at this time was but a somewhat ill-omened curiosity.” John N. Miksic, Borobudur Tales of Buddhas.

Menurut Miksic, orang-orang Jawa (pada abad 16an) seolah-olah tidak mengagungkan kemegahan Borobudur dengan menamainya “candi” atau dalam bahasa Jawa hanya berarti reruntuhan situs kuno sebelum kerajaan Islam berdiri. Orang-orang Jawa bahkan menganggap Borobudur sebagai tempat keramat yang membawa sial bagi orang-orang yang mendatanginya.

Mengutip John Misks, catatan tertua yang menyebutkan tentang kontak orang2 setempat dengan Borobudur adalah catatan tentang pemberontakan seorang pangeran Surakarta (sekitar tahun 1709~1710), yaitu Ki Mas Dana, seorang pangeran yang berusaha melarikan diri setelah memberontak dan bersembunyi di “gunung” Borobudur. Ki Mas Dana ditangkap dan dihukum mati di Surakarta. Catatan berikutnya adalah tentang seorang bangsawan Yogyakarta yang melanggar ramalan setempat yang menyebutkan bahwa siapa saja yang mendatangi gunung dengan seribu patung, diramalkan akan mati. Bangsawan tersebut berhasil ditangkap, tapi kembali dalam kondisi muntah darah dan kemudian menghembuskan nafas terakhirnya.

Nyayu Soraya dalam bukunya Islam dan Melayu (hal. 379) membahas bahwa Sunan Gunung Jati secara intensif menyebarkan Islam kepada penduduk yang mayoritas penganut Hindu-Buddha. Nyayu menyebutkan bahwa ada kalanya para pendakwah memang mengusung cerita-cerita mistis untuk mempermudah menyebarkan agama Islam.

Di satu sisi saya merasa trenyuh dengan cara berpikir bangsa saya, di sisi lain saya justru merasa berterimakasih. Kekhasan orang Indonesia yang selalu terlambat menyadari kekayaan dalam dirinya ini memperlambat proses penjarahan & pencurian benda-benda peninggalan bersejarah. Tidak ada orang-orang Jawa yang berani mendekati Borobudur sebelum Kolonial Belanda datang. Bayangkan kalau dari dulu Indonesia sudah tahu “harga” potongan2 batu dari Borobudur? Habis sudah sejarah kita dirampas oleh orang-orang kita sendiri.

Penggalian, penelitian (dan pencurian) Borobudur baru dimulai ketika para peneliti Belanda menemukan Borobudur dan kemudian gencar dilaksanakan di bawah arahan Sir Thomas Raffles.

Kembali ke fokus bahasan, acuhnya bangsa saya akan budayanya sendiri membuat tidak banyak yang mengetahui kemegahan Borobudur yang sebenarnya.

Benar, Borobudur memang tempat pemujaan, tapi tidak hanya itu. Borobudur mungkin hampir seperti mekahnya Buddha-Jawa, tapi tidak hanya itu. Borobudur dibangun dengan sistem rute yang memungkinkan peziarah untuk mengikuti lebih dari 100 cerita/ajaran yang termaktub dalam kitab-kitab Buddha. Peneliti relief Borobudur bahkan menyebut lorong-lorong dengan dinding yang bercerita itu sebagai “galeri”. Diduga perancang Borobudur seolah-olah menyajikan karya seni agama sekaligus ilmu yang bisa didapat oleh masyarakat umum.

Dengan mengikuti rute Borobudur, peziarah (diduga dibuka untuk umum) bisa mengalami perjalanan spiritual yang diajarkan Sidharta Gautama untuk mencapai kemuliaan Buddha. Peneliti juga cenderung berpikir bahwa pemandu keagamaan diduga mendampingi peziarah-peziarah dalam melakukan perjalanan spiritual tersebut.

Dari sini saya ingin berpendapat bahwa Borobudur mungkin adalah museum universitas kuno yang ada di Jawa. Yang melakukan salah satu fungsi dan peran dari museum:

1. Menyajikan karya seni agama atau intepretasi kitab-kitab keagamaan,

2. Memberikan edukasi kepada masyarakat umum melalui galeri-galeri tersebut,

3. (Mungkin) adalah tempat berkumpulnya para pendeta dan cendekiawan agama untuk saling bertukar informasi keagamaan.

Itulah alasan kenapa saya merasa sangat kurang tepat kalau Borobudur hanya dinamakan sebagai candi. Menamakan Borobudur sebagai “candi” seolah-olah membuat Borobudur membisu dalam misterinya. Borobudur adalah sebuah vihara, sebuah museum, sebuah universitas yang megah! Yang seharusnya membuat bangsa kita malu menyebut diri sendiri bermental tempe.

Seharusnya bukti adanya Borobudur membuat kita tertegun. Kita memiliki bukti kemegahan, tapi kenapa tidak banyak catatan-catatan tersisa yang menyebut2 tentang Borobudur? Seharusnya Borobudur membuat bangsa kita memiliki keinginan menggali sejarah untuk lebih memahami siapa kita dulu.

Stupa, relief dan keseluruhan Borobudur sedang berbisik-bisik tentang kejayaannya, tentang rahasia-rahasianya, tapi kita terlalu ramai berbicara.. Borobudur tidak diam, Borobudur bukan sekadar candi.

#borobudur #candi #peradaban #hindu #buddha

Persahabatan ala Dua Orang Dewasa

Baru-baru ini saya mendapat kesempatan membaca banyak hal tentang persahabatan yang kemudian membuat saya sedikit merenung tentang itu. Tidak perlu jauh-jauh mencari contoh, persahabatan saya dengan Rendy, satu-satunya orang yang tanpa ragu bisa saya perkenalkan sebagai sahabat, adalah model hubungan “persahabatan” yang sampai saat ini membuat saya nyaman dan merasa dihargai. Tidak hanya karena persahabatan kami sudah berlangsung 19 tahun, tetapi juga karena ada prinsip-prinsip yang kami pegang untuk menghormati & menghargai satu sama lain.

Saya termasuk jenis teman yang gampang-gampang susah. Semua orang yang pernah bertemu saya selalu menyangka hidup saya mulus-mulus saja karena saya selalu tampil menjadi pendengar yang baik, sabar, ceria, dan tidak pernah mengeluh tentang hidup saya.

Teman terdekat saya pernah menggambarkan saya sebagai tuan rumah yang mempersilakan orang lain mendekat, menikmati pemandangan rumah dari luar saja, tetapi mengunci pintu rumah rapat-rapat. 🙂 Tidak jarang teman-teman merasa sedih karena saya tidak benar-benar mengizinkan mereka tahu “diri saya” yang sesungguhnya. Padahal, mereka benar-benar tulus ingin bersahabat dengan saya. Hanya saja, perbedaan nilai-nilai persahabatan yang berbeda mendorong banyak orang menjauh dari saya.

Berikut ini adalah pendapat saya tentang persahabatan yang sering membuat orang lain salah paham, tetapi kalau orang lain bisa mencermati, sebetulnya pendapat saya banyak benarnya. :p

1. Sahabat tetap memiliki rahasia.

Ini adalah nilai yang saya hormati benar-benar, mengingat saya adalah orang yang sulit terbuka kepada orang lain. Saya dan Rendy bisa saling terbuka tentang banyak hal, tetapi satu sama lain tetap menghormati batasan-batasan kami. Kami terbuka dengan segala sesuatu yang diceritakan satu sama lain, itu saja. Kami benar-benar memahami, ketika sesuatu hal tidak diceritakan, berarti hal tersebut masih dalam level “pribadi”.

Saya percaya, setiap manusia memiliki wilayah pribadi dan sosial. Walaupun bagi saya, sahabat & keluarga berada di wilayah abu-abu antara pribadi & sosial, tetap saja ada hal-hal yang berada jelas di wilayah pribadi. Jadi, saya tidak akan berusaha “memasuki” atau memaksa sahabat saya untuk mempersilakan saya masuk ke dalam wilayah itu, berlaku juga sebaliknya. Hal inilah yang sering membuat orang lain salah paham. Bagi mereka, saya dianggap tidak jujur. Padahal, saya tidak pernah memaksa mereka untuk bercerita segala hal pribadi mereka.

Selama ketidakterbukaan saya tidak merugikan pihak lain, saya inginnya dihormati dalam hal itu. Toh, dalam segi profesional atau keseharian saya selalu jujur dan terbuka.

2. Sahabat tidak selalu harus bersama.

Walaupun sudah dewasa, saya masih sering menemukan orang-orang yang berpendapat bahwa sahabat harus selalu bersama. Itu pemikiran anak-anak atau remaja yang pusat kehidupannya masih pada teman, sekolah, dan bermain-main. Hal ini juga yang membuat persahabatan tidak langgeng karena ketika dua orang sahabat terpisah oleh jarak, lalu komunikasi merenggang, lalu persahabatan itu hilang. Sudah hampir 10 tahun saya dengan Rendy melalui persahabatan jarak jauh (long distance bestfriendship? :p), ada kalanya kami sibuk dengan kehidupan masing-masing, tetapi tetap ada rasa perlu untuk berkomunikasi.

3. Sahabat bukanlah orang yang selalu mengritik dengan pedas.

Hampir semua orang berpikir bahwa teman dekat bisa secara bebas, terbuka, tidak bersopan-sopan dalam berteman. Oleh karena itu, sahabat dipersilakan membuli kita habis-habisan, tanpa kita merasa tersinggung. Orang yang blak-blakan adalah orang yang jujur. Demikian orang-orang selalu beranggapan. Sedangkan bagi saya, tidak selamanya hal itu berlaku demikian. Entah sahabat atau teman biasa, semua memiliki kemampuan untuk mengritik atau menasehati dengan bahasa yang baik. Berbicara jujur dan apa adanya juga bisa disampaikan dengan baik pula.

Yang dinilai jujur atau tidaknya adalah hal-hal yang disampaikan seorang sahabat, bukan caranya menyampaikan sesuatu.

Kalau ketika melontarkan ucapan-ucapan, “kamu goblok sih, Anyiing” kepada sahabat kita, perasaan kita merasa lega, justru itu yg jadi masalah kita, dong! Kita jadikan sahabat kita/orang-orang terdekat kita pelampiasan :p Dan dengan perkataan2 seperti itu, apakah sahabat kita juga merasa tenang & lebih segar dibanding kalau kita ucapkan dengan perkataan biasa?

Kalau kita dan sahabat merasa lebih bahagia, lebih percaya, dengan perkataan-perkataan yang blak-blakan tapi nylekit, berarti sedikit ada masalah dalam hal kejiwaan kita. Blak-blakan boleh, tapi tetap harus dalam taraf kesopanan. Blak-blakan untuk menunjukkan perhatian & kasih sayang kita kepada sahabat.

4. Sahabat tidak selalu sependapat, tetapi sahabat tidak merasa sungkan/ragu/takut untuk mengungkapkan ketidaksetujuannya

Yes, sahabat satu sama lain boleh tidak sependapat. Sahabat juga tidak merasa ragu untuk mengungkapkan pikirannya. Dalam hal ini, saya sudah menemukan beberapa kali kisah di mana saya tidak sependapat dengan Rendy. Saya/Rendy akan berkata jujur bahwa apa yang salah satu dari kami lakukan/putuskan tidak sesuai dengan ideal yang dipikirkan. Akan tetapi, kami tetap bisa menguatkan dan menasehati terus menerus, dan tidak meninggalkan satu sama lainnya.

Dan yang tidak kalah penting, sahabat boleh berkata i told you!!! Tapi tetap selalu ada bersama.

Gimana menurut pendapat kalian? Tentu saja apa yang saya tulis hanyalah gambaran ideal & pengalaman saya saja, setiap orang tetap memiliki terms and conditions masing-masing.

Tinder app. Cintaku dimana?

Beberapa kali sudah sering saya dengar tentang applikasi Tinder, akan tetapi baru setelah Lebaran ini, karena dicurhati kouhai yang lagi terlibat rumitnya asmara karena Tinder, saya benar-benar ngeh. Tinder adalah sebuah aplikasi yang diciptakan untuk para pengguna internet yang ingin menjalin hubungan: pertemanan, pacaran, ataupun hanya percakapan biasa (tergantung maksud individu masing-masing). Semacam makcomblang dalam bentuk aplikasi, Tinder ini benar-benar membantu mempertemukan banyak orang tanpa rasa takut privasi terusik.

Hanya karena ingin mendapatkan pengalaman dengan aplikasi ini, saya memutuskan untuk menginstal di smartphone saya. Aplikasi ini pada akhirnya akan menjadi aplikasi yang berbayar, dan tidak saya teruskan karena saya tidak benar-benar berniat untuk terlalu terlibat dalam pertinder-an.

Setelah awal install, aplikasi ini akan langsung meminta ijin untuk masuk dengan menggunakan akun facebook. Karena saya kurang suka mengkaitkan antara satu akun dengan akun yang lain (terlalu protektif terhadap diri sendiri ceritanya), awalnya saya tolak. Tetapi ternyata hanya itulah jalan yang bisa saya tempuh untuk bisa log in Tinder (mungkin saya melewatkan sesuatu). Dengan janji ikon kunci, dan pernyataan bahwa Tinder tidak akan post sesuatu ke akun facebook saya, terpaksalah saya masuk dengan menggunakan akun facebook.

Setelah masuk Tinder, akun otomatis terbentuk. Foto profilnya diambil dari akun facebook yang kita gunakan saat itu, dan beberapa foto yang mungkin mendapatkan banyak “like” di akun facebook kita. Harus diingat, untuk pengambilan foto profil dan beberapa foto yang ditampilkan dalam profil kita, Tinder tidak meminta ijin terlebih dahulu. Jadi apabila ada foto-foto yang dinilai tidak ingin anda share untuk orang-orang yang belum anda kenal, lebih baik setelah masuk aplikasi, segera cek foto-foto yang otomatis tertampilkan tersebut. Umur, hari lahir dan domisili anda juga akan langsung tertampilkan (padahal di facebook saya tidak menampilkan umur dan hari lahir).

Setelah masuk laman utama, saya langsung disuguhi foto-foto profil para lelaki yang berdomisili di sekitar saya (padahal saya belum nge-set relationship seperti apa yang saya inginkan, tetapi otomatis mereka mencarikan lelaki-lelaki, duh!). Karena saya tinggal di Jepang, maka kebanyakan wajah-wajah yang tersuguh (tersuguh!) adalah wajah-wajah lelaki Jepang. Sedangkan rentang umur dari para lelaki-lelaki tersebut adalah 19 tahun hingga 36 tahun. Hehe bagi wanita yang terlalu lama single, terlalu setia dan susah move on seperti saya, lelaki-lelaki dibawah 27 tahun menjadi terasa tabu :p, jadilah saya set ulang dari umur 27 tahun hingga 36 tahun. Saya juga tidak berpikir lelaki Jepang yang muda-muda berminat kepada wanita yang sudah mendekati tua ini :p

Yang menarik dari Tinder ini, ketika anda swipe foto para lelaki tersebut ke kanan, itu tandanya anda menyukai orang tersebut, lalu? Nantinya apabila lelaki tersebut juga menyukai anda (disini istilahnya “match”), anda dan dianya akan otomatis dibuatkan sebuah kolom private message. Kalau anda menggeser foto lelaki-lelaki tersebut ke kiri, itu diartikan anda tidak ada ketertarikan dengan lelaki tersebut. Dalam tinder ini geser-menggeser foto adalah poin utama (haha). Ketika anda menggeser foto-foto tersebut ke atas, tinder akan mengartikan bahwa Anda sangat menyukai orang tersebut.

Bagi saya yang terlalu konvensional, geser-geser ke kanan dan ke kiri menjadi sangat memalukan. Entah kenapa, tapi saya seperti menganggap aplikasi ini aplikasi serius. Jadi selama setengah jam saya hanya menggeser-geser ke kiri. Setelah saya menggeser foto-foto para lelaki tersebut ke kanan sekitar 25 kali? 30 kali? Saya kurang ingat. Aplikasi berbayarnya mulai muncul. Apabila saya ingin bisa melihat-lihat lagi foto-foto lelaki yang sudah saya geser kiri, atau saya ingin memperluas range wilayah hingga ke seluruh dunia, dan dengan bebasnya me-like foto2 tersebut, saya harus membayar 1300 Yen PERBULAN! Gila.

Tetapi melihat antusiasme pengguna, saya asumsikan banyak orang-orang merasa kesepian di dunia yang semakin marak ini. Banyak orang mencari-cari dimana cintanya berada. Entahlah.

Bagi saya, Tinder ini merupakan “cucu” dari YM (Yahoo messenger). Sama-sama mempertemukan orang-orang yang tadinya belum kenal ke dalam private message. Bedanya, Tinder ini terkesan lebih catchy, dan berkelas karena dia berbayar haha. Tinder juga bisa jadi benar-benar aplikasi yang memprioritaskan penampilan, karena kita dinilai dari foto.

Oleh sebab itu, saya tidak merekomendasikan aplikasi ini kepada orang-orang yang sudah punya pasangan :p dengan alasan apapun, juga kepada orang yang tidak memiliki uang, janganlah mencobai, atau kepada orang-orang yang tidak menyukai chatting, atau orang yang tidak percaya diri dengan penampilannya lebih baik tidak usah mendekati Tinder :p..

 

Yes selesai satu tulisan lagi.

 

Annelies telah berlayar. Kepergiannya laksana cangkokan muda direnggut dari batang induk. Perpisahan ini jadi titik batas dalam hidupku: selesai sudah masa-muda. Ya, masa-muda yang indah penuh harapan dan impian – dan dia takkan balik berulang. (Minke)

Sebuah kutipan indah yang menjadi pembuka bab I, Anak Semua Bangsa dalam novel karangan Pramoedya Ananta Toer ini, seakan-akan menjadi tirai yang membuka tabir babak baru dalam sebuah panggung hidup Minke.

Dan bukankah semua manusia akan mengalami hal yang sama? Setelah berusaha keras dalam sebuah percintaan dan pencarian hakekat prinsip kehidupan, manusia Indonesia selalu harus bertatapkan realita yang sangat mengena. Bahwa hidup ternyata tidak seindah drama, yang pemberhentiannya pada akhirnya yang menggembirakan. Hidup manusia tidak berhenti ketika dua kekasih yang berjuang untuk saling menemukan satu sama lain bertemu. Tidak juga kehidupan berhenti pada sebuah pernyataan penutup, “dan akhirnya putri dan pangeran hidup bahagia hingga akhir masa”.

Kehidupan adalah tempat perjuangan. Untuk memulai lagi ketika kehilangan dan kesedihan mengempas. Untuk memulai lagi ketika kebahagiaan tercapai. Untuk memulai lagi segala cerita hingga akhir nafas.

Orang Jepang yang belum Anda kenali (1)

Selain pekerja keras, cinta kebersihan dan keteraturan, dan semua yang hebat-hebat dari sifat orang Jepang, saya yakin tidak banyak orang Indonesia yang sudah mendengar sifat-sifat buruk mereka. Tidak hanya karena orang Indonesia yang kebanyakan (1) belum pernah ke luar negeri, (2) belum pernah berkomunikasi dengan orang luar negeri: kawan, hubungan bisnis, atau info-info mengenai luar negeri, (3) kurang membaca buku-buku yang berkaitan dengan selain negara sendiri, tetapi juga karena pada dasarnya Indonesia yang telah dijajah Belanda selama 350 tahun ini, belumlah mampu untuk move on dari pemujaan budaya asing ketimbang merasa bangga dengan budayanya sendiri.

Diberi kesempatan tinggal di Jepang selama 3 tahun (dan mungkin akan lebih), belajar di lingkungan pendidikan/universitas dan bekerja di lingkungan menengah kebawah sebagai part timer, memberikan saya banyak kesempatan untuk melihat orang Jepang dari berbagai sisi. Dan inilah, beberapa sifat orang Jepang yang mungkin belum Anda kenali (disclaimer: saya tinggal dan beraktifitas di antara Tokyo dan Kanagawa, sifat orang Jepang di luar Tokyo bisa jadi berbeda).

KEPO
Sepintas lalu, orang Jepang tampaknya sangat menghormati ruang pribadi setiap individu. Mereka membatasi secara ketat ruang publik dan ruang pribadi. Yang paling terkenal adalah sebuah ungkapan, “Honne tatte mae” 本音立って前, bahwa orang Jepang tidak menyampaikan apa isi hati mereka, tidak egois, tetapi menghormati publik, bersama publik mencapai goal bersama. Itu menjadi semacam norma. Dalam etika bertamu, tidak akan pernah ada yg berani bertamu tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Tambahan lg, di Tokyo, karena banyak orang2 yg tinggal di apartemen sempit, tidak memungkinkan mereka menerima tamu.

Dibalik itu, mungkin (mungkin) karena terlalu ketatnya pembatasan, sedangkan rasa ingin tahu orang Jepang begitu kuat, sering saya dapati mereka mengintip-intip layar smartphone orang yg duduk disebelahnya di kereta.

Pernah suatu kali, ketika saya masih tinggal bersama dg keluarga senior dr Indonesia, saya salah membaca jadwal membuang sampah. Di Jepang, sampah dibedakan berdasarkan jenis sampah & hari2nya. Sampah2 yg sizenya besar (furniture, dll) harus melaporkan kpd kelurahan & membayar sejumlah uang. Karena sy tidak tau, saya membuang koper di tempat sampah publik. Saat itu sekitar sepi, tidak ada yg datang menasehati saya. Tetapi malamnya, adik senior saya dilapori tetangga, dinasehati, “temannya salah buang sampah tuh, besok lagi jangan ya”.

Dari pengalaman itu saya mengerti, diam2 para tetangga2 mengawasi kita, apa yg kita lakukan (hihihi kaya dewa).

DISKRIMINATIF

Sama juga dengan hampir semua negara non-eropa & amerika, Jepang juga memiliki kecenderungan mendiskriminasi orang2 dari ras2 tertentu. Lebih2 Jepang baru 2 abad ini saja terbuka dengan dunia luar, setelah Restorasi Meiji 1867, Jepang baru melihat begitu memukaunya budaya barat.

Kekakalahan Jepang di Perang Dunia II semakin membuat kekaguman terhadap budaya luar (terutama dari ras kaukasian) menjadi semakin kuat. Dalam keseharian banyak cerita, banyak pengalaman yg saya alami. Contohnya adalah mengenai etika dalam kehidupan sehari2. Ketika ada orang asing berpenampilan kebule-bulean berbicara terlalu keras di kereta, atau membuang sampah seenaknya di stasiun, orang-orang Jepang yg menyaksikan biasanya memaklumkan, mendiamkan saja. Sebaliknya, apabila orang asing tersebut tampak keasia2an, apalagi berwajah China, sudah pasti ditegur atau dicemooh.

REMAJANYA KURANG UPDATE TTG POLITIK DAN INFORMASI DUNIA LUAR

Di Jepang, jarang sekali saya dapati sebuah berita tentang protes mahasiswa melawan kenaikan pajak. Dalam kehidupan sehari-hari pun, tak pernah saya dengar ada keterlibatan remaja/pemuda-pemudinya dalam ranah politik.

Baru kemarin minggu, saya membaca aksi turun ke jalan oleh pendukung LGBT, tapi rata2 mereka sudah tampak tidak muda, tambahan lagi saya saksikan wajah2 kaukasian bersama mereka. Saya asumsikan, orang-orang asing inilah yang mendorong aksi tersebut.

Keseharian pemuda-pemudi Jepang begitu disibukkan oleh beberapa dari mereka: belajar, pacaran, hura-hura gaya muda, ekstrakurikuler, dan semacamnya. Tapi kegiatan keorganisasian yg mendorong mereka berpolitik kurang berkembang. Adanya organisasi student board di sekolah atau universitas hanya dimanfaatkan untuk penyelenggaraan acara,dll. Tampaknya mereka tidak dilatih untuk mampu mengambil langkah politik, bahkan untuk memperbaiki kondisi mereka sendiri.

“Indonesia itu dimana?” saya sering kali ditanyai oleh pelanggan warung yg masih remaja. Tetapi begitu saya menyebutkan “Bali” mereka kemudian mengerti letak geografis Indonesia. Kadang bahkan saya disalami dengan “Namaste”, krn orang Jepang sering salah paham Indonesia dengan Indo (India).

Sedihnya, karena mereka tidak tahu sebuah negara yang pernah bangsa mereka jajah di tahun 1945 silam. Tetapi berbeda dg pemudanya, orang2 lanjut usia begitu mencermati politik dan perkembangan berita dunia. Bapak2 yg bekerja di warung saya, Pak Kaneko, adalah fans Bung Karno, tahu bahwa Bung Karno memiliki istri di Jepang. Pak Kaneko ini saking update-nya, langsung mengonfirmasi saya sehari setelah Indonesia menyetujui proyek Shinkansen dikelola oleh China.

Baru tiga hal tentang orang Jepang yang mungkin belum Anda kenali yg bisa saya tuliskan. Karena saya masih dalam proses belajar menulis, makanya hasilnya masih ngalor-ngidul. Tapi pasti segera saya lanjutkan tulisannya dengan ide yang lain lagi. Intinya adalah sebagai seorang warga negara Indonesia, semua di dunia itu sawang sinawang, apa yang kita lihat tidak sebagus kenyataannya. Bahkan di Jepang yang tampaknya perfect, nggak perfect nya juga pasti ada.

Lega, berhasil menyelesaikan satu tulisan. 🙂

Tentang menulis

Hari ini saya banyak melihat video-video yang sebelum hari ini enggan saya saksikan, ya.. Indonesian Lawyer Club, ILC sebuah acara dengan konsep menghadirkan narasumber dari berbagai kalangan untuk menghasilkan sebuah diskusi dari semua pihak termasuk dari kalangan Lawyers. Saya kurang suka berdebat, menyaksikan orang berdebat, atau terlibat dengan perdebatan. Akan tetapi, entah kenapa hari ini, karena menyaksikan video yang awalnya berisi Menteri Susi Pudjiastuti, lalu teruuus mendadak mengkait ke video Fadli Zon, lalu berakhir ke Fahri Hamza (benar ya?) dan perdebatannya di ILC ini.

Walaupun kepala saya jadi pusing karena menyaksikan perdebatan, penjelasan-penjelasan dari ekspert2 yang sepertinya tidak mampu menjelaskan secara sederhana, saya belajar sesuatu. Sebuah petuah dari Prof Sahetapy (tidak semua yang beliau jelaskan mampu saya pahami juga), mengenai etika mengkritik. Dibawah ini kira-kira apa yang beliau ucapkan, akan tetapi tidak sama persis seperti apa yang beliau sampaikan,

Kalau anda memiliki pendapat, kritik yang membangun, silahkan dituliskan dalam bentuk tulisan. Saya akan menuliskan jawabannya. Akan tetapi kalau anda-anda hanya mampu mengkritik secara terpisah, anda mengkritik sana-sini, lebih baik anda menuliskan di koran, lalu saya akan menjawab.

Prof Sahetapy (Indonesian Lawyer Club, ILC) , sumber video youtube.com (lupa episode yang mana, sepertinya episode mengenai Hukuman mati atau DPR bersama Fahri Hamza)

Saya jadi baper dengan apa yang beliau nasehatkan. Saya pribadi selama ini, mungkin juga hanya mampu mengkritik ide, pendapat orang lain atau pemerintah, secara morat marit. Tidak tersusun rapi dalam bentuk tulisan ilmiah. Hasilnya? semata-mata kritikan itu hanya menjadi sebuah kritikan, yang kadang kebenarannya bisa jadi berubah-ubah berdasarkan emosi saya.

Akan tetapi, apabila sebuah kritikan disampaikan dalam bentuk tulisan ilmiah. Maka akan ada dua keunggulan yang dihasilkan, yang lebih efektif dibanding dengan kritikan yang disampaikan secara oral. Yang pertama (1) kritikan dalam bentuk tulisan ilmiah jelas menampilkan siapa penulisnya, siapa yang mengutarakan kritikannya. Kenapa ini menjadi penting, bagi saya walaupun di era yang serba canggih ini, video dan audio recorder mampu menjadi pengganti lebih ampuh, tulisan tetap merupakan alat bukti yang valid dan classy.

Kritikan dalam bentuk tulisan (2) mengedepankan keteraturan berpendapat. Melalui tulisan, kemungkinan besar untuk mengeluarkan ide yang terpengaruh oleh suasana hati sangat kecil. Tulisan ilmiah dengan struktur penulisannya mendorong penulis untuk menggunakan kosa kata ilmiah, yang persuasif tetapi tidak emosi. Walaupun proses kritik-respon akan menjadi memakan waktu, menurut saya kritikan dengan tulisan membentuk pribadi-pribadi berpikir kritis dalam ranah ilmiah.

Lain halnya dengan kritikan yang disampaikan secara oral, secara langsung, dalam sebuah diskusi, kritikan tersebut cenderung (1) tidak teratur. Pengkritisi yang secara langsung mengkritik, biasanya tidak memiliki batasan masalah. Hal ini bisa menimbulkan debat kusir, atau penjelasan yang ngalor ngidul. Selain itu, karena kritikan dilontarkan secara langsung, terkadang pihak yang dikritik tidak memiliki back up kesiapan informasi dan data tentang apa yang menjadi topik kritikan. Kritikan ini dapat mendorong (2) ke arah bullying/humilitating. Mungkin bagi kebanyakan orang, bullying ini dibenarkan, karena terlalu parahnya kebodohan pihak yang dikritik. Akan tetapi bagi saya, hal semacam itu sama-sama tidak terdidiknya.

Kritikan secara oral, secara langsung tidak selalu mengarah ke hasil yang negatif. Ada beberapa segi positifnya juga. Tetapi, menurut pendapat saya, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang masih muda demokrasi-nya, masih muda tingkat keterdidikannya (bukan tentang titel atau sarjana). Diiringi dengan tingkat ekonomi yang masih menengah kebawah, dan keberagaman identitas yang dimiliki, kritikan dalam bentuk tulisan merupakan sarana yang terbaik untuk saling berargumen.

#belajarmenulis

 

 

 

 

Politik Manusia

Manusia itu aneh, ya.. saya tidak hanya membicarakan seseorang atau sekelompok orang tertentu, tapi saya juga ikut menyindir diri saya sendiri. Anehnya kenapa? Manusia tidak mampu melihat kelemahan diri sendiri, tetapi kelemahan orang lain yang kecilpun tampak, dan dibesar-besarkan demi kepentingannya. “Gajah di pelupuk mata tak nampak, semut di seberang lautan nampak”, peribahasa yang benar-benar mengena dan dihasilkan oleh seorang bijak yang memahami manusia dengan kepentingan-kepentingannya, politik manusia.

Bukannya menggeneralisasikan, tetapi memang yang terjadi, kaum wanita-lah yang sering melakukan hal-hal ini (di Indonesia). Setiap manusia pasti memiliki aibnya masing-masing, hal-hal yang dia tidak inginkan untuk diketahui oleh orang lain. Bisa berupa kelemahan, bisa berupa kesalahan di masa lalu, dan lain sebagainya. Tetapi kenyataannya, kenapa bisa ya manusia menjaga aibnya supaya tidak diketahui oleh orang lain? Sedangkan aib orang lain dengan asyiknya dia umbar, dia bahas, tanpa berniat memberikan solusi atau jalan keluar. Hanya merasa senang saja, apabila ada manusia lain yang (pada saat itu tidak begitu disukainya) memiliki kelemahan yang kebetulan diketahuinya.

Ah… sedihnya, menyadari bahwa suatu ketika saya pun melakukan hal yang sama. Supaya aib saya tetap aman, saya usahakan untuk mengalihkan perhatian orang-orang kepada kesalahan salah seorang manusia lainnya yang tidak begitu saya suka. Sedihnya..

Bagi saya, dan mungkin terjadi bagi orang yang lainnya juga, kenapa saya membahas tentang kelemahan si A, kenapa saya menjelek-jelekkan si B, pasti ada motifnya. Banyak sebab, salah satunya adalah alam bawah sadar saya menganggap keberadaan si A atau si B sebagai suatu ancaman. Bisa jadi si A lebih cantik, atau si B lebih pandai, dan keberadaan si A atau si B akan menurunkan kadar kecantikan dan kepandaian saya. Ah.. sedihnya.

Saya tidak berusaha untuk membela diri saya sendiri. Tetapi sudah semenjak SMA saya melatih diri saya dengan kesadaran ini. Manusia menjelek-jelekkan yang lainnya agar posisinya aman, atau agar mendapatkan dukungan dari sebagian yang lainnya. Sudah saya latih diri saya sendiri (walau masih sering luput), saya tanamkan, bahwa saya tidak akan mendapatkan apa-apa dengan berbuat curang. Teman-teman yang berada di dekat saya dengan kecurangan saya, tidak akan bertahan lebih lama dari pelangi. Saya sadari, bahwa dengan menjelek-jelekkan orang lain, saya sedang melakukan perbuatan curang.

Walaupun terkadang saya masih sering luput, ikut-ikut nggosip tentang keburukan orang lain, ada satu dari banyak hal yang saya banggakan dari pribadi saya. Yaitu, saya selalu berani mengkonfirmasi sebuah kebenaran, walaupun itu adalah untuk membenarkan orang yang tidak saya sukai.

Sangat sering, ketika saya bergosip tentang seseorang lain yang saya juga kurang sukai, kemudian lawan bicara saya membicarakan kejelekan orang tersebut yang saya ketahui tidak benar, maka saya akan dengan berani membenarkan.. Bahkan ketika saya menyebarkan keburukan seseorang, lalu ternyata berita yang saya sebarkan salah, saya berani mengkonfirmasi hal tersebut, membetulkan kebenarannya.

Misalnya, saya sedang bergosip dengan si G, lalu dia bercerita tentang si F musuhnya, “Masak si F waktu itu tidak datang menjenguk saya di rumah sakit, heran benar, sebegitu membencinya dia.” Kenyataan yang terjadi, si F sudah menjenguk tetapi ketika si F datang, si G sedang tidur, dan si F tidak mau membangunkan si G, maka saya akan membenarkannya, “Nggak lho, dia datang, tapi kamu waktu tidur. Nggak ada yang sampaikan ya?” Hal-hal semacam itu. Saya bahkan pernah meng-sms kepala kantor dan koordinator2 kepala karena hal yang saya sampaikan ketika bertemu tidak benar, dan saya minta maaf. Hebat kan? #eh

Sayangnya, teman-teman yang berada di dekat saya, tidak berpikir perlu untuk memperbaiki kabar-kabar atau gosip-gosip yang mereka sebarkan, dan bahkan terkesan menambah-nambahi. Kadang saya heran, apakah apa yang mereka tangkap salah, atau benar-benar mereka tambah-tambahi keburukannya demi menambah citra buruk tentang seseorang, dan demi untuk menggalang persatuan sesama pembenci seseorang tersebut? Dengan mengadu domba?

Hanya dengan beberapa patah kata tentang seseorang, akibat yang terjadi bisa begitu parah. Seperti yang sedang saya amati akhir-akhir ini, sehingga mendorong saya untuk menulis blog dengan judul ini. Seseorang yang saya hormati, sebut saja si Dora, tanpa sengaja mengungkapkan kekecewaannya tentang seseorang, sebut saja Spongebob, kepada seluruh negeri. Kepada orang-orang yang berada di sekitar si Spongebob, juga kepada orang-orang yang membenci si Spongebob.. Tanpa Dora sadari, karena ceritanya yang begitu menggebu-gebu tentang keburukan Spongebob, kepada apa yang dilakukan Spongebob kepadanya, bagi saya, hal itu justru terdengar memalukan. Mungkin memang saya adalah tipe orang yang menyimpan segala sesuatunya seorang diri, yang kalau luput keceplosan ngomong tentang seseorang, akan menjadi merasa bersalah sekali, jadinya nilai-nilai yang saya bawa lebih baik diam, daripada mengumbar emosi ke sana ke mari.

Saya mengerti kekecewaan si Dora, dan benar Spongebob memang tidak berlaku adil, tetapi… yang dia bilang “curhat”, tetapi ke seluruh penjuru negeri. Sedangkan yang dia ceritakan juga hanya berasal dari sudut pandang dia saja, hal itu juga tidak bisa membuat saya menyetujui langkah yang dia ambil. Politik manusia yang benar-benar berorientasi kepada dirinya sendiri.

Tanpa setiap manusia sadari, kami saling menjatuhkan satu sama lainnya untuk kepentingannya masing-masing. Ah.. Syukurlah saya mendapatkan pelajaran ini sehingga membuat saya lebih aware dengan tindakan-tindakan yang saya lakukan. Mari percaya, tidak ada tindakan yang akan berjalan benar, ketika kita tidak memilih motif yang benar. Tidak ada hasil yang berkah, apabila kita melakukannya melalui kecurangan. Setiap dari kita juga berusaha menutup aib, maka marilah berlaku adil. Tak perlulah berbuat curang dengan membuka aib orang. Mari percaya.

 

 

 

Keluh si wanita bodoh

Apakah hanya saya, wanita terbodoh di dunia, yang terombang ambing dengan cinta semu? Apakah hanya saya, yang senantiasa berusaha terbaik, menyayangi tanpa pamrih namun bahkan sekedar kata2 untuk bersama di masa depanpun tak mendapat perjuangan dari sang kekasih? Apakah hanya saya? Yang hampir 1/3 hidup saya, saya habiskan untuk menyayangi, kemudian patah hati, lalu kembali jatuh hati dan lagi-lagi patah hati..

Kadang-kadang saya iri, kepada wanita2 keras kepala itu. Yang begitu percaya kepada keberhasilan cinta mereka, yang begitu keras merongrong sang kekasih, sehingga mau tidak mau sang kekasih harus mengikuti mau mereka. Saya iri. Namun apalah saya ini, senjata feminitas apa yang saya miliki selain kebaikan dan pengampunan yang seluas samudra.

Lihat saja si A, seenaknya saja dia melenggang pergi dari hidup saya, dengan alasan orang tua tidak merestui, menafikan penantian saya yang terlampau lama. Dan karena kebaikan saya, saya ampuni dia. Dia bahkan dengan ceria menasehati saya, kamu kelak akan bertemu dengan orang yang tepat.

Bullshit.

Ataaau, masih ingat si B? Yang berbusa busa menyatakan bahwa sayalah yang dia cari, bahwa dia akan menerima saya apa adanya. Sekelebat dia menghilang karena kesalahan saya. Yah, memang semua itu kesalahan saya. Lama tak nampak, lalu dia muncul memohon maaf, entahlah, mungkin dukun nikahnya meminta dia untuk meminta maaf kepada wanita di ujung timur yang menyimpan dendam dan kebencian untuknya? Wanita dengan aura hitam yang mungkin mengganggu pernikahannya?

Lalu yang dia dapati apa? Senyum manis saya, saya memaafkannya, “hakmu mas untuk meninggalkanku,” kata saya waktu itu. Aduhai~ layaknya sahabat lama, kami kembali bercerita dengan mesra. Apakah hanya saya?

Lalu lagi-lagi, muncul seorang dambaan hati, dengan kebaikan hati dan keteguhan, mencairkan hati saya yang sebenarnya tidak mau berkasih. Pesona perhatiannya, kasihnya kepada saya, tidak mungkin melunturkan pemikirannya bahwa tidak ada masa depan bagi kami. Lalu mengapa saya tidak meninggalkannya? Bahkan ketika saya menyadari dia juga memberikan harapan kepada wanita yang lainnya?

Baiknya hati saya…. kelapangan hati yang seluas samudra ini, pengampunnya saya, dengan tulus menafikan hancurnya hati, demi apa yang mereka palsukan sebagai cinta dan kasih sayang.

Apakah ada wanita sebodoh saya selain saya sendiri? Dengan kebaikan dan hati saya yang pemaaf, saya mengeruk jurang kesedihan saya sendiri.

Kekasih, setelah semua itu berakhir, pernahkah saya terlintas di pikiran kalian? Pernahkah kalian kemudian menyadari betapa baik dan tulusnya sayang yang saya tawarkan kepada kalian? Pernahkah kalian berpikir apa yang kalian lakukan tidak patut dimaafkan, tapi tetap saja saya maafkan?

Saya yakin kalian tidak pernah berpikir atau bahkan sedikitpun menyesalkan apa yang kalian lakukan terhadap saya. Karena memang, ya, kalian benar. Hanya saya, wanita terbodoh di dunia, yang hanya memiliki kebaikan hati dan pemaaf~ Ya, hanya saya.

Menjelang 30 tahun

Segera, saya akan menjelang umur saya yang ke 30 tahun. Perasaan grogi itu mau tidak mau mulai merayapi pikiran. Tidak hanya masalah jodoh, masa depan, kematian, dan masalah kesehatan pun berulang kali terpikirkan, lengkap~ seperti dalam pilihan aplikasi horoskop. Semua hal itu menghantui saya.

Aneh ya. “Sebentar lagi saya berumur 30tahun, yang benar saja?” “Menikah? Ngurus suami? Ngurus anak? belum kebayang” Hehe pertanyaan2 yang (mungkin) biasanya muncul pada jomblo terlalu serius menjalani hidup, yang hampir menjelang 30 tahun, tapi masih saja slengekan (jd masih ada waktu untuk berpikir hal yang terlalu abstrak semacam itu) seperti saya.

Tidak hendak membandingkan dengan kehidupan orang lain, tetapi adanya grup2 SMA, Kuliah di facebook, whatssap dan sejenisnya, mempertontonkan keseharian orang2 seusia saya dengan pilihan hidup yang berbeda dari saya, membuat saya sedikit meneguk ludah. Mereka tampak berbahagia.

Menjadi PNS segera setelah mereka lulus, menikah, kemudian sekarang dikelilingi balita-balita yang ajaib lucunya. Sedangkan saya, masih saja di rumah, merenungi hidup, hehe. Masih saja bermain ‘patah hati-patah hatian’ karena terlalu sering gagal dalam hal asmara.

Wanita yang menggagalkan berbagai macam hubungan yang tampak serius, dan digagalkan oleh hubungan yang mustahil, itulah saya. Bukan bermaksud  mengeluh atas keputusan yang telah saya buat. Saya bahkan merasa bersyukur, dan menyadari satu hal. Dalam hal asmara, kesalahan ada di tangan saya sepenuhnya 🙂

Dalam hal karir, saya juga terlalu melow dan malas bergerak. Saya tidak dewasa. Saya merasa begitu terikat dengan kantor tempat awal saya bekerja. Alasannya sih karena kekeluargaannya kuat dan lain-lain, padahal dasarnya saya aja yang malas. Butuh waktu 4 tahun untuk kemudian saya menyadari saya harus melanjutkan mimpi saya. Dan sayangnya 4 tahun yang saya lewati tersebut, saya campur adukkan dengan kisah asmara yang mawut #eh! Jadinya  selain hati saya yang semakin lapang dan dewasa, yang lainnya tidak berkembang seperti yang saya impikan.

Saya berulang kali membuat sebuah keputusan mengenai adegan2 penting dalam hidup saya yang bertentangan dengan diri saya sendiri. Itu adalah satu dari sedikit yang saya banggakan dari diri saya, keberanian untuk nekat dan berbeda dari yang lainnya.

Melihat teman2 saya dengan karir, keluarga mereka membuat saya tercenung. Tetapi, ketika saya bertanya kepada diri sendiri, “do you want their life instead?” saya bahkan tidak bisa membayangkannya. Saya mau hidup saya sendiri. Saya belum ingin menikah. Kadang-kadang saya berpikir, mungkinkah saya memiliki semacam trauma dalam hal asmara terhadap mahkluk yang bernama lelaki? Mungkinkah saya ketakutan pada konsep “keluarga”?

Masih menjadi misteri bagi saya yang harus segera dipecahkan apabila saya ingin menjadi wanita dewasa yang siap menghadapi umur 30 tahun dengan segala resikonya.

Resiko dipanggil ‘bu’, resiko merasa minder dg bodi remaja-remaja 20 tahunan yang keren abis, resiko kalah saing di panggung sandiwara cinta, resiko dilabeli perawan tua, dan resiko-resiko yang lainnya.

Saya sudah dewasa (mutlak), saya bisa berpikir dewasa (hasil dari pengalaman2 pahit yang panjang), tapi untuk bersikap dewasa dan bertindak dewasa saya merasa kurang mampu. Saya tahu terhadap diri saya sendiri, saya inkonsisten dan tidak memberdayakan kemampuan saya sendiri secara maksimal. Tapi saya akan berubah, sedikit demi sedikit.. Karena segera, umur saya akan berubah menjadi 30 tahun.

Hidup dan Proses (English Version)

Life and Process

What i am now is shaped by years ago determinations and decisions. To worry and to doubt whether i decided them well or not is not excused.

Trust myself. Believe! it is not the result or the success i am looking for. Yet, always try my best in the process. Since in the process, i live and learn. Life is in the process and i have to be happy within it.

The end of the life is death, not a result or success. Thus, as long as i live, be in process.